Bisnis Lesu, Pengusaha Jalan Tol Minta Insentif Fiskal

Bisnis Lesu – Di balik megahnya beton jalan tol yang membentang dari ujung kota ke desa, ada cerita getir yang menggerogoti sektor infrastruktur jalan bebas hambatan. Para pengusaha jalan tol, yang selama ini dianggap sebagai “raja jalanan”, kini justru tengah kelimpungan. Lalu lintas kendaraan yang stagnan bahkan menurun di sejumlah ruas tol membuat proyeksi keuntungan terjun bebas. Dan kini, para pemain besar ini pun angkat suara: mereka minta insentif fiskal dari pemerintah.

Bisnis Infrastruktur Tak Lagi Sekuat Dulu

Selama bertahun-tahun, jalan tol dipandang sebagai sektor athena168. Investor berlomba-lomba menanam modal, karena perputaran uang di anggap pasti dan stabil. Tapi anggapan itu kini mulai lapuk dimakan realitas. Beberapa ruas tol, terutama yang terhubung ke kawasan industri atau pariwisata, sepi pengunjung. Apalagi setelah pandemi COVID-19 yang mengubah pola mobilitas masyarakat secara permanen.

Kehadiran jalan tol Trans Jawa hingga Trans Sumatera tak otomatis membuat lalu lintas menggeliat. Sebaliknya, beban bunga pinjaman menumpuk, dan biaya operasional tetap harus di bayar. Di titik ini, para pengusaha mulai merasa sesak napas. Beberapa ruas bahkan di sebut merugi selama bertahun-tahun tanpa titik terang.

Permintaan Insentif yang Menggugah Polemik

Keluhan tak berhenti di ruang rapat. Asosiasi jalan tol akhirnya menyuarakan harapan: mereka mendesak pemerintah memberikan insentif fiskal, mulai dari pemotongan pajak penghasilan, PPN atas pengadaan barang untuk operasi jalan tol, hingga relaksasi beban pajak daerah seperti PBB dan pajak kendaraan alat berat. Permintaannya jelas dan langsung: tanpa dukungan fiskal, bisnis tol bisa kolaps, dan itu akan mengganggu kestabilan pembangunan infrastruktur nasional.

Namun suara ini memicu pertanyaan. Bagaimana bisa pengusaha besar yang selama ini di anggap untung besar, justru meminta keringanan di saat kas negara juga sedang di kuras untuk subsidi sektor lain? Apakah ini pertanda bahwa jalan tol bukan lagi ladang uang seperti yang dulu di gembor-gemborkan?

Ruas yang Bermasalah dan Tekanan Modal

Beberapa ruas tol menjadi sorotan karena performa yang di bawah ekspektasi. Sebut saja Tol Medan-Binjai, Tol Pekanbaru-Dumai, atau bahkan beberapa seksi di Trans Sumatera yang secara geografis memang belum mampu menarik arus kendaraan tinggi. Para investor swasta maupun BUMN yang menanamkan modal di proyek-proyek ini merasa kecewa karena traffic belum sebanding dengan biaya situs slot.

Lebih parah lagi, sebagian pengusaha terikat dalam skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) yang sangat bergantung pada asumsi arus lalu lintas kendaraan. Begitu asumsi ini meleset, struktur keuangan goyah. Pembayaran cicilan utang ke bank pun bisa tersendat, apalagi jika tidak ada pemasukan memadai dari tarif tol.

Ketergantungan pada Bantuan Negara yang Kian Nyata

Kondisi ini membuka mata bahwa sektor jalan tol tidak bisa berjalan mandiri sepenuhnya. Tanpa bantuan negara, baik dalam bentuk Viability Gap Fund (VGF), penjaminan risiko, atau insentif fiskal, pembangunan tol baru akan stagnan. Namun jika ini terus di biarkan, publik pun akan mulai mempertanyakan: apakah kehadiran jalan tol hanya untuk kepentingan segelintir investor, atau benar-benar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat?

Sorotan publik semakin tajam, mengingat jalan tol bukan hanya jalur fisik, tapi simbol kebijakan ekonomi negara. Saat investor mengeluh dan minta bantuan, rakyat bertanya: di mana konsep untung bersama yang dulu di gembar-gemborkan? Jika untung di nikmati sendiri, mengapa saat rugi harus minta subsidi? Inilah teka-teki yang sekarang menggantung di langit-langit dunia infrastruktur Indonesia.